Oleh Ahmad Fuad Fanani
(Kader Muhammadiyah)
Muhammadiyah mempunyai posisi yang strategis tidak hanya di mata umat, rakyat, dan Pemerintah Indonesia, tapi juga di mata pengamat dan masyarakat luar negeri. Oleh karenanya, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan diselenggarkan di Yogyakarta, pada 3-8 Juli 2010 mendatang, menarik untuk dicermati. Muktamar yang akan mengangkat tema "Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama" itu, sangat sesuai dengan kondisi internal dan eksternal Muhammadiyah serta umat Islam Indonesia.
Selama ini, banyak masyarakat yang menganggap bahwa posisi strategis Muhammadiyah adalah karena menjadi Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia yang mempunyai massa puluhan juta. Oleh karenanya, dengan jumlah anggota yang besar itu, Muhammadiyah bisa berpotensi menjadi pendorong kekuatan politik, moral, ekonomi, dan kebudayaan. Namun, ada satu potensi yang sepertinya jarang disentuh dan diberdayakan secara maksimal oleh Muhammadiyah, yaitu potensi sebagai organisasi pembaharuan yang selama ini sedikit banyak juga sudah teruji sejarah.
Sayangnya, potensi sebagai gerakan pembaharuan yang bisa berjalan secara seirama dengan gerakan ilmu itu, akhir-akhir ini perannya meredup. Paling tidak, seperti yang sering disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa orientasi Muhammadiyah sekarang lebih terpaku pada gerakan amal (Republika, 23/04/2010)
Agenda Gerakan Ilmu
Kalau kita baca sejarah perkembangan gerakan Muhammadiyah, pada dasarnya antara gerakan amal dan gerakan ilmu tidak bisa saling dipisahkan. Ketika KH Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, selain melakukan gerakan keilmuan dengan mengajar mengaji dan mendirikan sekolah untuk umat Islam dan masyarakat pribumi, beliau juga melakukan gerakan amal. Hal itu terwujud dengan pendirian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang menjadi wujud nyata untuk membumikan perintah agama guna menolong masyarakat mustadz'afin.
Selain itu, sebagai ormas keislaman, Muhammadiyah juga banyak menelorkan pembaruan dan kritik terhadap konservatisme keagamaan seperti takhayul, bid'ah, dan churafat (TBC) yang saat itu banyak membelenggu umat dan menyebabkan mereka tertinggal. Namun, Muhammadiyah bukan hanya organisasi pemikir yang berhenti pada dataran konsep, tapi juga berusaha melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan, amal sosial, dan ekonomi umat dengan mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, serta amal usaha lainnya. Rumusan itulah yang sering disebut oleh M. Amin Abdullah sebagai realisasi konsep a faith in action dalam tubuh Muhammadiyah.
Nah, dalam kerangka perpaduan antara gerakan amal dan gerakan ilmu, tampaknya gerakan ilmu di Muhammadiyah sekarang kurang mendapat porsi yang seimbang. Memang, harus diakui bahwa ekspansi gerakan Muhammadiyah dalam bidang amal sosial semakin meluas. Hal itu tampak terlihat dari semakin banyaknya perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, ataupun kegiatan yang dilakukan oleh majelis dan lembaga di PP Muhammadiyah, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, maupun pimpinan cabang Muhammadiyah.
Namun, amal sosial itu kurang diimbangi oleh peningkatan kualitas, pembukaan ruang dialog, penciptaan pusat-pusat keunggulan (center for excellence), serta peningkatan produktivitas karya ilmiah dari warga serta pimpinan Muhammadiyah. Mestinya, perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah itu, dikembangkan kualitas dan potensinya secara maksimal sehingga ke depan ada yang masuk perguruan kelas dunia (world class university) sebagai universitas riset yang diperhitungkan.
Majelis Tarjih dan Tajdid yang diharapkan mengawal gerakan keilmuan Muhammadiyah, juga masih kurang berfungsi secara maksimal. Fatwa mereka tentang pengharaman rokok dan bunga bank, tampak seperti kurang relevan dengan kondisi masyarakat umum. Majelis ini lebih tepat mengeluarkan fatwa dan pokok pemikiran yang bermanfaat untuk perbaikan kondisi bangsa seperti soal mafia kasus, korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan kualitas pendidikan, penegakan hukum, moralitas politik, dan sebagainya. Tidak heran jika Buya Syafii Maarif mengusulkan agar majelis ini diganti namanya menjadi Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Mungkin maksudnya agar lebih peka dan berani mengeluarkan konsep-konsep yang lebih berani, membumi, dan bermanfaat untuk masyarakat luas. Tokoh-tokoh Muhammadiyah hendaknya juga berani berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan global sekarang ini.
Meskipun Muhammadiyah terkesan lamban dan kurang maksimal sebagai gerakan ilmu, namun Muhammadiyah mempunyai potensi besar untuk melakukannya. Setidaknya, Muhammadiyah bersama NU sudah berupaya untuk memperkuat dirinya sebagai civil Islam yang sangat penting dalam proses demokratisasi bangsa.
Potensi yang sudah ada itu, tentu harus direvitalisasi dan dikembangkan. Sudah saatnya Muhammadiyah meneguhkan jati dirinya sebagai gerakan ilmu yang bersifat lintas golongan, suku, agama, politik, dan negara. Untuk itu, Muhammadiyah harus aktif membentuk dan terlibat dalam epistemic community dalam lingkung internal dan eksternal. Epistemic community adalah sebuah jaringan para profesional atau pakar yang mengakui keahlian dan kompetensi masing-masing dalam hal-hal khusus, serta sebuah pendapat kebijakan otoritatif untuk pengetahuan yang relevan dalam bidang atau area tertentu (Hadi Soesastro, 2009).
Berkaitan dengan itu, maka Muhammadiyah selayaknya memanfaatkan potensi yang dimiliki kadernya dalam berbagai bidang keahlian, mulai dari agama, ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, serta pemberdayaan masyarakat. Setelah itu, Muhammadiyah seyogianya menggalakkan dialog di antara pakar luar dan kader itu untuk mendiskusikan dan merumuskan berbagai persoalan umat dan bangsa yang segera butuh dipecahkan. Tentu saja, hasil dialog itu hendaknya dirumuskan dalam kerangka praktis dan kebijakan yang bisa diimpelementasikan di lapangan. Dengan begitu, kerja sama dan saling kontribusi antarkader dalam ranah konseptual dan praktis ini akan tercapai.
Jumat, 30 Desember 2011
Gerakan Kultural Muhammadiyah
Republika, [04-11-2008]
Almisar Hamid
Mantan Aktivis IMM dan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
Tulisan Deni al Asy'ari mengenai Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah (Republika, 24/10) menarik disimak. Ia melihat keterlibatan Muhammadiyah secara praktis dalam ruang politik semakin kentara, terutama setelah berdiri Partai Matahari Bangsa (PMB) yang menurut dia didukung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.
Din Syamsuddin, menurut Deni, di samping mendukung berdirinya PMB secara terang-terangan juga melibatkan diri dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden). Sekalipun fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik (parpol) dengan posisi yang sama selama bertujuan mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.
Akan tetapi, menurut Deni, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa dicermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.
Menurut Deni, langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip high politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.
Sekilas tentang PMB, partai itu memang didirikan oleh kader-kader muda Muhammadiyah yang sebagian masih duduk di pengurus Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Orang nomor satu PMB saat ini, Imam Addaruqutni (mantan politisi PAN), adalah mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah menggantikan Hajriyanto Y Tohari ( saat ini menjadi politisi Partai Golkar).
Sebelum Hajriyanto, PP Pemuda Muhammadiyah dipimpin oleh Din Syamsuddin. Dia imam saat ini yang juga dipercaya memimpin salah satu badan di bawah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Seperti di pusat di mana anggota pengurus PMB banyak yang merangkap menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, begitu juga di tingkat wilayah dan daerah. Mereka sebagian juga masih aktif menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, bahkan pengurus Muhammadiyah.
Penting diketahui, Muhammadiyah adalah gerakan kultural/gerakan membangun masyarakat madani atau masyarakat utama, istilah Muhammadiyah. Di antara konsep masyarakat utama yang dirumuskan Muhammadiyah itu adalah hadirnya sistem dan tatanan sosial yang memberikan kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, dan terbebasnya individu-individu anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi (miskin, bodoh, terbelakang).
Salah satu yang digarap oleh Muhammadiyah sebagai gerakan kultural sejak awal berdirinya adalah bidang pendidikan dengan membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mengapa pendidikan ?
Meminjam pandangan Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, karena kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka. Suksesnya Muhammadiyah membangun sekolah sebanyak-banyaknya ditopang oleh doktrin yang disebutnya sebagai pencerahan umat yang terus dipegang oleh para kader Muhammadiyah.
Adapun politik dalam konsep gerakan kultural Muhammadiyah bukan politik praktis, politik mengejar kekuasaan, tetapi politik amar ma'ruf nahi munkar. Di sini setidak-tidaknya Muhammadiyah mampu menjadi kelompok penekan yang andal dalam mengawal jalannya kekuasaan. Amien Rais menyebutnya sebagai high politic atau politik luhur.
Langgengnya gerakan Muhammadiyah, menurut Amien Rais, juga ditopang oleh doktrin yang disebutnya tidak berpolitik praktis. Sepintas sikap Muhammadiyah seperti ini ada yang menilai tidak bijak karena bagaimana mungkin dakwah dalam arti rekonstruksi sosial dapat berhasil bila dijauhkan dari politik praktis.
Masalahnya, kata Amien, Muhammadiyah membangun masyarakat. Membangun katakanlah infrastruktur dalam jangka panjang, Muhammadiyah tidak ingin mengambil short cut atau jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut berebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Logika Muhammadiyah adalah dengan membina masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, Muhammadiyah berarti telah ikut mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, memegang nilai-nilai dan norma-norma moral secara kuat. Dengan begitu, tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke gelanggang politik praktis, mereka tidak akan menjadi homo politicus yang mengejar kekuasaan demi kekuasaan semata.
Dengan kata lain, mereka akan mampu menolak proses dehumanisasi dalam dirinya. Mereka akan memandang kekuasaan politik sebagai amanat untuk menyejahterakan rakyat.
Amien menyebut salah satu rahasia kelestarian dan kestabilan Muhammadiyah terletak pada kepiawaiannya menghindari politik praktis. Pengalaman menunjukkan, bila kepentingan politik sudah masuk ke dalam tubuh sebuah organisasi nonpolitik, maka organisasi tersebut menjadi rawan konflik dan perpecahan.
Hingga saat ini Muhammadiyah sebagai gerakan kultural terlihat konsisten menghindari politik praktis. Masalahnya, ternyata godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah sulit dibendung. Seperti kader bangsa Indonesia lainnya, kader Muhammadiyah juga banyak yang siap menjadi pemimpin bangsa, termasuk Din Syamsuddin dan sebelumnya Amien Rais untuk menjadi presiden.
Melihat aturan Muhammadiyah tentang politik bagi anggota, sebenarnya sudah ada sejak lama. Seperti Keputusan Muktamar 40 di Surabaya 1978 yang berbunyi: 1) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun, 2) Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah
Berdasarkan aturan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memberi kebebasan kepada anggota dan kadernya memasuki atau tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak bertentangan dengan Muhammadiyah. Masalahnya, bagaimana jika kader Muhammadiyah memegang jabatan rangkap seperti menjadi pengurus di PMB atau partai lainnya?
Perlu diingat, ketika Amien Rais memimpin Partai Amanat Nasional dan ikut bertarung menjadi calon presiden, ia tidak lagi menjadi ketua PP Muhammadiyah. Artinya, Amien Rais tidak memiliki jabatan rangkap ketika itu.
Bagaimana dengan Din Syamsuddin yang dinilai dekat dengan PMB yang notabene adalah wilayah politik praktis walaupun ia tidak duduk di PMB? Perlukah ada regulasi dari PP Muhammadiyah atas perilaku politiknya?
Ikhtisar:
- Muhammadiyah terlihat konsisten menghindari politik praktis.
- Masalah muncul karena ada godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah.
(-)
Almisar Hamid
Mantan Aktivis IMM dan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
Tulisan Deni al Asy'ari mengenai Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah (Republika, 24/10) menarik disimak. Ia melihat keterlibatan Muhammadiyah secara praktis dalam ruang politik semakin kentara, terutama setelah berdiri Partai Matahari Bangsa (PMB) yang menurut dia didukung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.
Din Syamsuddin, menurut Deni, di samping mendukung berdirinya PMB secara terang-terangan juga melibatkan diri dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden). Sekalipun fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik (parpol) dengan posisi yang sama selama bertujuan mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.
Akan tetapi, menurut Deni, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa dicermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.
Menurut Deni, langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip high politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.
Sekilas tentang PMB, partai itu memang didirikan oleh kader-kader muda Muhammadiyah yang sebagian masih duduk di pengurus Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Orang nomor satu PMB saat ini, Imam Addaruqutni (mantan politisi PAN), adalah mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah menggantikan Hajriyanto Y Tohari ( saat ini menjadi politisi Partai Golkar).
Sebelum Hajriyanto, PP Pemuda Muhammadiyah dipimpin oleh Din Syamsuddin. Dia imam saat ini yang juga dipercaya memimpin salah satu badan di bawah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Seperti di pusat di mana anggota pengurus PMB banyak yang merangkap menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, begitu juga di tingkat wilayah dan daerah. Mereka sebagian juga masih aktif menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, bahkan pengurus Muhammadiyah.
Penting diketahui, Muhammadiyah adalah gerakan kultural/gerakan membangun masyarakat madani atau masyarakat utama, istilah Muhammadiyah. Di antara konsep masyarakat utama yang dirumuskan Muhammadiyah itu adalah hadirnya sistem dan tatanan sosial yang memberikan kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, dan terbebasnya individu-individu anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi (miskin, bodoh, terbelakang).
Salah satu yang digarap oleh Muhammadiyah sebagai gerakan kultural sejak awal berdirinya adalah bidang pendidikan dengan membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mengapa pendidikan ?
Meminjam pandangan Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, karena kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka. Suksesnya Muhammadiyah membangun sekolah sebanyak-banyaknya ditopang oleh doktrin yang disebutnya sebagai pencerahan umat yang terus dipegang oleh para kader Muhammadiyah.
Adapun politik dalam konsep gerakan kultural Muhammadiyah bukan politik praktis, politik mengejar kekuasaan, tetapi politik amar ma'ruf nahi munkar. Di sini setidak-tidaknya Muhammadiyah mampu menjadi kelompok penekan yang andal dalam mengawal jalannya kekuasaan. Amien Rais menyebutnya sebagai high politic atau politik luhur.
Langgengnya gerakan Muhammadiyah, menurut Amien Rais, juga ditopang oleh doktrin yang disebutnya tidak berpolitik praktis. Sepintas sikap Muhammadiyah seperti ini ada yang menilai tidak bijak karena bagaimana mungkin dakwah dalam arti rekonstruksi sosial dapat berhasil bila dijauhkan dari politik praktis.
Masalahnya, kata Amien, Muhammadiyah membangun masyarakat. Membangun katakanlah infrastruktur dalam jangka panjang, Muhammadiyah tidak ingin mengambil short cut atau jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut berebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Logika Muhammadiyah adalah dengan membina masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, Muhammadiyah berarti telah ikut mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, memegang nilai-nilai dan norma-norma moral secara kuat. Dengan begitu, tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke gelanggang politik praktis, mereka tidak akan menjadi homo politicus yang mengejar kekuasaan demi kekuasaan semata.
Dengan kata lain, mereka akan mampu menolak proses dehumanisasi dalam dirinya. Mereka akan memandang kekuasaan politik sebagai amanat untuk menyejahterakan rakyat.
Amien menyebut salah satu rahasia kelestarian dan kestabilan Muhammadiyah terletak pada kepiawaiannya menghindari politik praktis. Pengalaman menunjukkan, bila kepentingan politik sudah masuk ke dalam tubuh sebuah organisasi nonpolitik, maka organisasi tersebut menjadi rawan konflik dan perpecahan.
Hingga saat ini Muhammadiyah sebagai gerakan kultural terlihat konsisten menghindari politik praktis. Masalahnya, ternyata godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah sulit dibendung. Seperti kader bangsa Indonesia lainnya, kader Muhammadiyah juga banyak yang siap menjadi pemimpin bangsa, termasuk Din Syamsuddin dan sebelumnya Amien Rais untuk menjadi presiden.
Melihat aturan Muhammadiyah tentang politik bagi anggota, sebenarnya sudah ada sejak lama. Seperti Keputusan Muktamar 40 di Surabaya 1978 yang berbunyi: 1) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun, 2) Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah
Berdasarkan aturan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memberi kebebasan kepada anggota dan kadernya memasuki atau tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak bertentangan dengan Muhammadiyah. Masalahnya, bagaimana jika kader Muhammadiyah memegang jabatan rangkap seperti menjadi pengurus di PMB atau partai lainnya?
Perlu diingat, ketika Amien Rais memimpin Partai Amanat Nasional dan ikut bertarung menjadi calon presiden, ia tidak lagi menjadi ketua PP Muhammadiyah. Artinya, Amien Rais tidak memiliki jabatan rangkap ketika itu.
Bagaimana dengan Din Syamsuddin yang dinilai dekat dengan PMB yang notabene adalah wilayah politik praktis walaupun ia tidak duduk di PMB? Perlukah ada regulasi dari PP Muhammadiyah atas perilaku politiknya?
Ikhtisar:
- Muhammadiyah terlihat konsisten menghindari politik praktis.
- Masalah muncul karena ada godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah.
(-)
Dampak Sistemik Fatwa Haram Merokok
Surabaya Post, Sabtu, 27 Maret 2010
Oleh: Biyanto
(Dosen IAIN Sunan Ampel dan aktivis Muhammadiyah Jatim)
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang pada 1-4 April 2010. Tentu saja, acara ini akan menarik perhatian masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah. Sebab, beberapa saat yang lalu, tepatnya pada 8 Maret 2010, MTT telah mengeluarkan fatwa hukum merokok. Dalam pandangan MTT merokok hukumnya haram karena: (a) perbuatan khaba’its [buruk], (b) menyebabkan kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, (c) membahayakan diri sendiri dan orang lain, (d) mengandung zat adiktif dan unsur racun yang berbahaya, (e) perbuatan mubazir [pemborosan], dan (f) bertentangan dengan tujuan penetapan syari’ah. Meski argumentasi tersebut terbuka untuk diperdebatkan, tetapi masyarakat sesungguhnya tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa merokok merupakan perbuatan yang dapat merusak kesehatan. Persoalannya, cukup bijaksanakah fatwa haram merokok tersebut dikeluarkan dalam kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kita?
Karena merokok bagi sebagian orang sudah dianggap budaya dan bahkan kebutuhan, maka keputusan tersebut dianggap terlalu keras. Hal ini karena mayoritas umat Islam memahami hukum merokok tidak lebih dari makruh. Pandangan resmi Muhammadiyah sebelumnya juga memutuskan bahwa merokok pada dasarnya termasuk perbuatan ibahah (mubah). Karena itu, tidak mengherankan jika di kalangan warga Muhammadiyah fatwa ini disikapi dengan cara beragam. Sebagian memahami fatwa ini sudah tepat. Argumentasi yang diajukan pun sudah melingkupi berbagai aspek, termasuk agama, medis, sosial, dan ekonomi. Sementara yang lain menganggap fatwa haram merokok terlalu berlebihan, kurang bijaksana, dan tidak berempati pada petani dan industri tembakau. Apalagi hukum haram merokok secara qath’iy tidak ditemukan dalam berbagai teks keagamaan. Keberatan terhadap fatwa ini sangat beralasan karena budaya merokok berkaitan dengan banyak sektor kehidupan seperti pertanian, perindustrian, perekonomian, dan kebijakan.
Dampak Sistemik
Jika ditelisik lebih jauh, fatwa haram merokok –meminjam istilah yang marak dalam skandal Bank Century- sesungguhnya dapat berdampak sistemik. Dampak sistemik fatwa haram merokok ini dapat diamati dari mata rantai yang panjang dan melibatkan banyak sektor yang berkaitan dengan rokok. Misalnya, petani tembakau, buruh tani yang bekerja di lahan tembakau, pelaku jual beli tembakau, karyawan pabrik rokok, pemilik pabrik rokok, pelaku jual beli rokok, dan pembuat regulasi industri rokok. Fatwa haram rokok dikatakan berdampak sistemik karena di dalam Hadits Nabi Muhammad saw ditemukan adanya larangan orang memperjualbelikan sesuatu yang diharamkan. Meskipun konteks hadits ini berkaitan dengan minuman keras (khamr) dan babi, tetapi sangat mungkin terjadi analogi hukum untuk menjelaskan kedudukan orang yang memproduksi dan memperjualbelikan rokok. Dengan logika hukum ini maka siapa pun yang berkaitan dengan industri rokok patut khawatir. Sementara para petani tembakau juga khawatir karena dapat dianggap memproduksi bahan baku rokok.
Harus diakui, bahwa fatwa MTT tentang hukum merokok memang belum menjadi keputusan resmi Muhammadiyah. Karena untuk menjadi keputusan resmi organisasi fatwa ini perlu terlebih dulu diajukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MTT. Jika disepakati dalam Munas, fatwa tersebut juga harus menungga untuk ditanfidz (disahkan) oleh pimpinan pusat. Setelah ditanfidz itulah fatwa tersebut baru menjadi keputusan resmi. Tegasnya, masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan fatwa hukum merokok sebagai keputusan tetap organisasi. Ini berarti masih terbuka peluang munculnya revisi fatwa hukum merokok yang lebih arif, bijaksana, dan solutif.
Tetapi, masyarakat sudah terlanjur tahu fatwa haram merokok yang diputuskan MTT. Karena itu, terbayang pertanyaan dalam pikiran saya bagaimana jika keputusan resmi organisasi nanti memperkuat fatwa MTT? Jika ini yang terjadi maka patut dilihat efektivitas fatwa tersebut. Bukan saja, bagi masyarakat luas tetapi juga di kalangan warga Muhammadiyah. Bagi masyarakat umum, fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MTT ini bukan yang pertama. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah mengeluarkan fatwa serupa. Tetapi, kita dapat mengamati perbuatan merokok rasanya tetap menjadi budaya masyarakat. Ini berarti fatwa yang dikeluarkan lembaga-lembaga keagamaan seringkali kurang efektif karena tidak memiliki kekuatan hukum positif. Barangkali karena itu, beberapa pemerintah daerah telah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang perbuatan merokok di tempat umum. Sekali lagi, kita menyaksikan betapa regulasi yang dibuat pemerintah tersebut kurang bergigi.
Revitalisasi Fungsi Tembakau
Agar fatwa haram merokok tidak berdampak sistemik maka yang perlu dipikirkan adalah merevitalisasi fungsi tembakau. Cara ini menurut hemat saya lebih adil karena tidak akan mematikan rangkaian industri tembakau. Masyarakat, terutama para petani tembakau dan kalangan industri, perlu diberikan alternatif. Misalnya, dengan menyatakan bahwa tembakau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar rokok. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tembakau bisa diekstrak dan direkayasa sehingga bermanfaat untuk kepentingan kesehatan. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan umum yang senantiasa menyatakan bahwa daun tembakau tidak bermanfaat bagi kesehatan.
Penelitian Arief Budi Witarto (2003) dari Pusat Bioteknologi LIPI menunjukkan manfaat daun tembakau sebagai reaktor penghasil protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF), suatu hormon yang penting untuk menstimulasi produksi darah. Dikatakan juga bahwa protein GCSF bisa digunakan sebagai vaksin untuk mencegah penyakit kanker. Beberapa ilmuwan kini juga berhasil menggunakan tembakau yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi obat penyakit diabetes. Daun tembakau pun dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk kekebalan tubuh. Prof. Pezzotti dari Universitas Verona juga menemukan manfaat daun tembakau sebagai penghasil protein obat Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan penyakit AIDS.
Beberapa temuan tersebut jelas menjadi angin segar bagi dunia keilmuan. Sebab, tanaman tembakau dapat memperbaiki citra di mata para ahli kesehatan. Tembakau yang selama ini hanya diambil manfaatnya untuk bahan baku rokok, ternyata dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan manusia. Rasanya, pengkajian yang mencoba untuk merekayasa manfaat tembakau perlu terus dilakukan. Pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, dan kalangan industri, perlu melakukan kerjasama yang sinergis untuk mengemban tugas mulia ini.
Semakin banyak temuan yang menunjukkan manfaat tembakau selain untuk rokok, maka para petani dan industri yang memanfaatkan tembakau sebagai bahan baku tidak akan gulung tikar dengan adanya fatwa haram merokok. Bahwa merokok dapat merusak kesehatan adalah pandangan yang secara common sense diakui kebenarannya oleh masyarakat. Tetapi, fatwa hukum merokok haram yang tidak diikuti dengan solusi pasti akan menimbulkan persoalan lain. Maka, dalam konteks inilah fatwa yang dikeluarkan MTT perlu mempertimbangkan banyak hal sehingga lebih berempati pada petani dan dunia industri.***
Oleh: Biyanto
(Dosen IAIN Sunan Ampel dan aktivis Muhammadiyah Jatim)
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang pada 1-4 April 2010. Tentu saja, acara ini akan menarik perhatian masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah. Sebab, beberapa saat yang lalu, tepatnya pada 8 Maret 2010, MTT telah mengeluarkan fatwa hukum merokok. Dalam pandangan MTT merokok hukumnya haram karena: (a) perbuatan khaba’its [buruk], (b) menyebabkan kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, (c) membahayakan diri sendiri dan orang lain, (d) mengandung zat adiktif dan unsur racun yang berbahaya, (e) perbuatan mubazir [pemborosan], dan (f) bertentangan dengan tujuan penetapan syari’ah. Meski argumentasi tersebut terbuka untuk diperdebatkan, tetapi masyarakat sesungguhnya tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa merokok merupakan perbuatan yang dapat merusak kesehatan. Persoalannya, cukup bijaksanakah fatwa haram merokok tersebut dikeluarkan dalam kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kita?
Karena merokok bagi sebagian orang sudah dianggap budaya dan bahkan kebutuhan, maka keputusan tersebut dianggap terlalu keras. Hal ini karena mayoritas umat Islam memahami hukum merokok tidak lebih dari makruh. Pandangan resmi Muhammadiyah sebelumnya juga memutuskan bahwa merokok pada dasarnya termasuk perbuatan ibahah (mubah). Karena itu, tidak mengherankan jika di kalangan warga Muhammadiyah fatwa ini disikapi dengan cara beragam. Sebagian memahami fatwa ini sudah tepat. Argumentasi yang diajukan pun sudah melingkupi berbagai aspek, termasuk agama, medis, sosial, dan ekonomi. Sementara yang lain menganggap fatwa haram merokok terlalu berlebihan, kurang bijaksana, dan tidak berempati pada petani dan industri tembakau. Apalagi hukum haram merokok secara qath’iy tidak ditemukan dalam berbagai teks keagamaan. Keberatan terhadap fatwa ini sangat beralasan karena budaya merokok berkaitan dengan banyak sektor kehidupan seperti pertanian, perindustrian, perekonomian, dan kebijakan.
Dampak Sistemik
Jika ditelisik lebih jauh, fatwa haram merokok –meminjam istilah yang marak dalam skandal Bank Century- sesungguhnya dapat berdampak sistemik. Dampak sistemik fatwa haram merokok ini dapat diamati dari mata rantai yang panjang dan melibatkan banyak sektor yang berkaitan dengan rokok. Misalnya, petani tembakau, buruh tani yang bekerja di lahan tembakau, pelaku jual beli tembakau, karyawan pabrik rokok, pemilik pabrik rokok, pelaku jual beli rokok, dan pembuat regulasi industri rokok. Fatwa haram rokok dikatakan berdampak sistemik karena di dalam Hadits Nabi Muhammad saw ditemukan adanya larangan orang memperjualbelikan sesuatu yang diharamkan. Meskipun konteks hadits ini berkaitan dengan minuman keras (khamr) dan babi, tetapi sangat mungkin terjadi analogi hukum untuk menjelaskan kedudukan orang yang memproduksi dan memperjualbelikan rokok. Dengan logika hukum ini maka siapa pun yang berkaitan dengan industri rokok patut khawatir. Sementara para petani tembakau juga khawatir karena dapat dianggap memproduksi bahan baku rokok.
Harus diakui, bahwa fatwa MTT tentang hukum merokok memang belum menjadi keputusan resmi Muhammadiyah. Karena untuk menjadi keputusan resmi organisasi fatwa ini perlu terlebih dulu diajukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MTT. Jika disepakati dalam Munas, fatwa tersebut juga harus menungga untuk ditanfidz (disahkan) oleh pimpinan pusat. Setelah ditanfidz itulah fatwa tersebut baru menjadi keputusan resmi. Tegasnya, masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan fatwa hukum merokok sebagai keputusan tetap organisasi. Ini berarti masih terbuka peluang munculnya revisi fatwa hukum merokok yang lebih arif, bijaksana, dan solutif.
Tetapi, masyarakat sudah terlanjur tahu fatwa haram merokok yang diputuskan MTT. Karena itu, terbayang pertanyaan dalam pikiran saya bagaimana jika keputusan resmi organisasi nanti memperkuat fatwa MTT? Jika ini yang terjadi maka patut dilihat efektivitas fatwa tersebut. Bukan saja, bagi masyarakat luas tetapi juga di kalangan warga Muhammadiyah. Bagi masyarakat umum, fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MTT ini bukan yang pertama. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah mengeluarkan fatwa serupa. Tetapi, kita dapat mengamati perbuatan merokok rasanya tetap menjadi budaya masyarakat. Ini berarti fatwa yang dikeluarkan lembaga-lembaga keagamaan seringkali kurang efektif karena tidak memiliki kekuatan hukum positif. Barangkali karena itu, beberapa pemerintah daerah telah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang perbuatan merokok di tempat umum. Sekali lagi, kita menyaksikan betapa regulasi yang dibuat pemerintah tersebut kurang bergigi.
Revitalisasi Fungsi Tembakau
Agar fatwa haram merokok tidak berdampak sistemik maka yang perlu dipikirkan adalah merevitalisasi fungsi tembakau. Cara ini menurut hemat saya lebih adil karena tidak akan mematikan rangkaian industri tembakau. Masyarakat, terutama para petani tembakau dan kalangan industri, perlu diberikan alternatif. Misalnya, dengan menyatakan bahwa tembakau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar rokok. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tembakau bisa diekstrak dan direkayasa sehingga bermanfaat untuk kepentingan kesehatan. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan umum yang senantiasa menyatakan bahwa daun tembakau tidak bermanfaat bagi kesehatan.
Penelitian Arief Budi Witarto (2003) dari Pusat Bioteknologi LIPI menunjukkan manfaat daun tembakau sebagai reaktor penghasil protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF), suatu hormon yang penting untuk menstimulasi produksi darah. Dikatakan juga bahwa protein GCSF bisa digunakan sebagai vaksin untuk mencegah penyakit kanker. Beberapa ilmuwan kini juga berhasil menggunakan tembakau yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi obat penyakit diabetes. Daun tembakau pun dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk kekebalan tubuh. Prof. Pezzotti dari Universitas Verona juga menemukan manfaat daun tembakau sebagai penghasil protein obat Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan penyakit AIDS.
Beberapa temuan tersebut jelas menjadi angin segar bagi dunia keilmuan. Sebab, tanaman tembakau dapat memperbaiki citra di mata para ahli kesehatan. Tembakau yang selama ini hanya diambil manfaatnya untuk bahan baku rokok, ternyata dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan manusia. Rasanya, pengkajian yang mencoba untuk merekayasa manfaat tembakau perlu terus dilakukan. Pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, dan kalangan industri, perlu melakukan kerjasama yang sinergis untuk mengemban tugas mulia ini.
Semakin banyak temuan yang menunjukkan manfaat tembakau selain untuk rokok, maka para petani dan industri yang memanfaatkan tembakau sebagai bahan baku tidak akan gulung tikar dengan adanya fatwa haram merokok. Bahwa merokok dapat merusak kesehatan adalah pandangan yang secara common sense diakui kebenarannya oleh masyarakat. Tetapi, fatwa hukum merokok haram yang tidak diikuti dengan solusi pasti akan menimbulkan persoalan lain. Maka, dalam konteks inilah fatwa yang dikeluarkan MTT perlu mempertimbangkan banyak hal sehingga lebih berempati pada petani dan dunia industri.***
Mengapa Harus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Airlangga ?, Bukan Yang Lain..
Mengapa
Harus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Airlangga ?, Bukan Yang Lain..
Oleh
: Ahmad Sholikin
KETUM
IMM AIRLANGGA 2011-2012
Banyak
sekali organisasi-organisasi yang berada di level mahasiswa, mulai yang
berideologi kiri “nggeduk” hingga
yang memiliki ideology kanan “poll” pun
juga ada. Mahasiswa adalah sebagai agent
of change, jadi pastinya semua organisasi pengkaderan menginginkan
kader-kadernya memiliki saluran untuk melampiaskan hasrat keorganisasiannya di
level mahasiswa. Di Nahdhotul Ulama’ memiliki PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) salah satu elemen mahasiswa
yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia
ke depan menjadi lebih baik. Selain itu juga ada KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia) yang muncul sebagai
salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan
mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus
(FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Yang memiliki semboyan Negarawan
Muslim. Kemudian ada juga HMI (Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia), inilah
organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia. Selain itu ada juga GMNI
(Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang memiliki ideology Nasionalis. Kalau dalam Organisasi kita
Muhammadiyah maka ada IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang menampung
aspirasi dan mencetak kader dari kalangan Mahasiswa.
Berbagai
macam organisasi di atas adalah berbagai gerakan yang ada di level mahasiswa, akan tetapi masih banyak lagi
gerakan-gerakan yang lain yang belum bisa saya sebutkan satu-persatu. Lalu
mengapa kita harus memilih Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai organisasi
atau gerakan untuk kita ikuti dan kita hidup-hidupi ? Dan kenapa bukan yang
lain ? Apa sih yang di tawarkan oleh IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
sehingga kita harus menjatuhkan pilihan kita kepadanya ? Berbagai pertanyaan
diataslah yang ingin di jawab oleh penulis melalui tulisan singkat ini.
Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pencetus
nama IMM adalah Drs. Moh. Djazman
Al-kindi yang juga merupakan koordinator dan sekaligus ketua pertama.
Muktamar IMM yang pertama pada 1-5 Mei 1965 di kota Barat, Solo dengan
menghasilkan deklarasi yang dibawah ini. IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam.
Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM, Fungsi IMM adalah
sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan
dinamisator).
Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM. IMM
adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan
dan falsafah negara yang berlaku. Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk
kepentingan agama, nusa dan bangsa. Kemunculan IMM adalah dalam upaya
mewujudkan maksud dan tujuan Muhammadiyah baik yang berada di struktural
ataupun diluar dan juga simpatisan, baik yang berekonomi atas, menengah ataupun
bawah harus dapat memahami dan mengetahui Muhammadiyah secara general ataupun
secara spesifik sehingga tidak muncul kader-kader Muhammadiyah yang radikal
(berwawasan sempit). Penegasan motivasi etis ini sebenarnya merupakan
interpretasi (pemahaman) dari firman Allah SWT. dalam QS. Al-Imran:104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.“
Dan diharapkan kader-kader Muhammadiyah yang khusunya
IMM dapat merealisaasikan motivasi etis diantaranya dengan melakukan dakwah
amar ma`ruf nahi munkar, Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebajikan
& demi kebaikan).
Itulah sekilas kelahiran IMM yang sampai sekarangpun
masih ada oknum-oknum yang mempersoalkannya (walaupun sudah terbit buku Yang
menangkal isu tersebut dengan judul 'Kelahiran Yang Dipersoalkan oleh Farid
Fatoni). Dan sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu
kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus
merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan
ini.Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern itu pulalah, maka
tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali ke IMM sebagai
anak atau ortom Muhammadiyah. Mereka yang dulu turut mengembangkan HMI
disebabkan karena IMM belum lahir dan keterlibatan mereka dalam tubuh HMI hanya
sebatas mengembangkan ldeologi Muhammadiayah. Dan sampai sekarangpun HMI masih
dimasuki oleh kalangan mahasiswa dari berbagai unsur ormas Islam, yang pada
akhimya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
benar-benar murni didirikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yang pada waktu
itu diketuai oleh Bapak H.A. Badawi.
Dasar Pemikiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah, bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai gerakan
mahasiswa Islam perlu mengambil peran lebih besar dalam gerakan pencerahan dan
pemberdayaan umat dengan secara intens terlibat dalam peran-peran sosial, di
wilayah lokal, regional, dan nasional. Populasi kuantitatif umat yang masih
belum diimbangi dengan posisi kualitatif menjadi tanggung jawab IMM bersama
generasi muda Islam lainnya untuk memasok sumber daya manusia yang qualified.
Karenanya diperlukan formulasi strategi, taktik, dan operasional yang tepat
untuk berhadapan dengan intuisi umat masa kini dan masa depan .
Bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai
bagian dari Muhammadiyah, memiliki posisi dan peran strategis dalam rangka
membangun tradisi pembaharuan Muhammadiyah. Dengan basis kekuatan yang ada di
kampus-kampus, IMM merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan kader-kader akademis di masa depan. Posisi ini
meniscayakan IMM untuk selalu melakukan revitalisasi visi, misi, peran, agenda,
program, strategi, metode, serta taktik gerakan. IMM perlu melakukan penguatan
gerakan, baik dari segi gagasan maupun program aksinya.
Bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai
generasi muda bangsa Indonesia menjadi bagian yang tak bisa mengelakkan diri
dari berbagai peristiwa kerakyatan dan kebangsaan. Oleh karena itu IMM dituntut
memiliki kecakapan dalam memberikan jawaban yang tepat terhadap dinamika bangsa
Indonesia dalam berbagai sektor; sosial, politik, ekonomi, hukum, hankam, dan
lainnya. Keniscayaan ini menjadi sangat vital karena IMM bersama generasi muda
lainnya adalah tumpuan harapan penerus nasib bangsa. Maka IMM harus mampu
menjadikan dirinya sebagai bagian terpenting milik rakyat dan bangsa Indonesia.
Dari penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan
bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak berjuang untuk kepentingan
organisasinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk umat islam dan juga
untuk Bangsa, Negara Indonesia tercinta ini. Jadi jika ada ada mahasiswa yang
bilang bahwa “Ngapain di IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Itu kan organisainya Muhammadiyah yang hanya memikirkan
dan berjuang untuk Muhammadiyah ?
Mending ikut yang netral aja ?” Kata-kata itu akan sering di lontarkan oleh
Mahasiswa yang tidak mengetahui apa cita-cita dan landasan berfikir dari di
ciptakannya Persyarikatan Muhammadiyah. Setelah mengetahui apa yang menjadi
tujuan dan landasan berfikir dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah maka tidak ada
alasan bagi kita untuk memilih organisasi lain yang berlagak seperti organisasi
yang so’ islamis, so’ nasionalis dan
so’-so’ apalah itu. Karena dalam IMM (Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah) ketiga
tujuan tersebut telah ada dan di jadikan sebagai landasan berfikir dan
bergerak.
Walaupun di dalam Universitas yang Negri seperti
Universitas Airlangga organisasi IMM adalah ORMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra
Kampus) yang notabene adalah illegal
(yang di maksud illegal adalah tidak
bisa mendapatkan fasilitas dari universitas, ini merupakan peraturan dari Orde
Baru yang masih di terapkan karena pemerintah takut kalau-kalau mahasiswa bisa
bertindak dan bergerak massif seperti pada era reformasi. Ini merupakan upaya
agar pergerakan mahasiswa menjadi terbatas dan tidak memiliki kekuatan super
power seperti jaman ORBA). Walaupun kita tidak mendapatkan fasilitas dari
Universitas tetapi itu tidak akan menyurutkan tekad dan niat kami untuk terus
bergerak dan berkembang menjadi organisasi atau wadah para kader Muhammadiyah
dan juga kader bangsa yang ingin menjadi calon pemimpin negri ini di masa
depan.
Seperti dalam cuplikan Mars Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah :
Ingatlah Ingat-Ingat....
Niat tlah di ikrarkan
Kitalah cendekiawan berpribadi
Susila cakap taqwa kepada Tuhan
Pewaris Tampuk Pimpinan ummat nanti
Immawan dan Immawati
Siswa teladan Putra harapan
Penyambung Hidup generasi
Siswa teladan Putra harapan
Penyambung Hidup generasi
Ketika niat telah di ikrarkan untuk menjadi kader
Persyarikatan, Kader Islam dan Kader Bangsa kita harus menepati dari janji kita
itu. Maka dari itu mari kita satukan misi untuk kemajuan ummat islam dan juga
untuk kemajuan dari Bangsa Indonesia kita yang tercinta ini. Karena kita adalah
mahasiswa yang memiliki ideology islam dan juga ingin berbakti kepada agama,
Negara dan bangsa, maka satu kata yaitu bergabung bersama IMM Airlangga. Mari
kita mengikatkan jiwa, raga kita kepada IMM Airlangga dan satu ikatan yang kita
bangun atas dasar cinta kepada Agama kita, cinta kepada Nabi Muhammad S.A.W,
cinta kepada bangsa Indonesia dan khususnya cinta kepada kampus kita
Universitas Airlangga Surabaya. Ketika hati, jiwa dan fikiran kita sudah di
ikat maka kekeluargaan akan terbentuk dalam sebuah organisasi, apabila ada satu
keluarga yang senang, sedih, sakit, gembira maka akan kita rasakan
bersama-sama. Mari kita jadikan IMM Airlangga ini sebagai rumah kita yang
ke-dua, mari semua anggota IMM Airlangga ini kita jadikan keluarga kedua kita
setelah keluarga kita yang ada di rumah.
Satu kata : Qum
Fa Angdzir ( Bangun dan berikanlah Peringatan) jargon dari IMM
Airlangga. Semoga jargon ini bisa merasuk kedalam hati dan fikiran kita dan
kemudian akan menjadi semangat kita untuk bergerak dalam perbuatan.
Akhir Kata:
Billahi Fi Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot.
Wasalamualaikum warah matullohi wabarokatuh.
Langganan:
Postingan (Atom)