Surabaya Post, Sabtu, 27 Maret 2010
Oleh: Biyanto
(Dosen IAIN Sunan Ampel dan aktivis Muhammadiyah Jatim)
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang pada 1-4 April 2010. Tentu saja, acara ini akan menarik perhatian masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah. Sebab, beberapa saat yang lalu, tepatnya pada 8 Maret 2010, MTT telah mengeluarkan fatwa hukum merokok. Dalam pandangan MTT merokok hukumnya haram karena: (a) perbuatan khaba’its [buruk], (b) menyebabkan kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, (c) membahayakan diri sendiri dan orang lain, (d) mengandung zat adiktif dan unsur racun yang berbahaya, (e) perbuatan mubazir [pemborosan], dan (f) bertentangan dengan tujuan penetapan syari’ah. Meski argumentasi tersebut terbuka untuk diperdebatkan, tetapi masyarakat sesungguhnya tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa merokok merupakan perbuatan yang dapat merusak kesehatan. Persoalannya, cukup bijaksanakah fatwa haram merokok tersebut dikeluarkan dalam kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kita?
Karena merokok bagi sebagian orang sudah dianggap budaya dan bahkan kebutuhan, maka keputusan tersebut dianggap terlalu keras. Hal ini karena mayoritas umat Islam memahami hukum merokok tidak lebih dari makruh. Pandangan resmi Muhammadiyah sebelumnya juga memutuskan bahwa merokok pada dasarnya termasuk perbuatan ibahah (mubah). Karena itu, tidak mengherankan jika di kalangan warga Muhammadiyah fatwa ini disikapi dengan cara beragam. Sebagian memahami fatwa ini sudah tepat. Argumentasi yang diajukan pun sudah melingkupi berbagai aspek, termasuk agama, medis, sosial, dan ekonomi. Sementara yang lain menganggap fatwa haram merokok terlalu berlebihan, kurang bijaksana, dan tidak berempati pada petani dan industri tembakau. Apalagi hukum haram merokok secara qath’iy tidak ditemukan dalam berbagai teks keagamaan. Keberatan terhadap fatwa ini sangat beralasan karena budaya merokok berkaitan dengan banyak sektor kehidupan seperti pertanian, perindustrian, perekonomian, dan kebijakan.
Dampak Sistemik
Jika ditelisik lebih jauh, fatwa haram merokok –meminjam istilah yang marak dalam skandal Bank Century- sesungguhnya dapat berdampak sistemik. Dampak sistemik fatwa haram merokok ini dapat diamati dari mata rantai yang panjang dan melibatkan banyak sektor yang berkaitan dengan rokok. Misalnya, petani tembakau, buruh tani yang bekerja di lahan tembakau, pelaku jual beli tembakau, karyawan pabrik rokok, pemilik pabrik rokok, pelaku jual beli rokok, dan pembuat regulasi industri rokok. Fatwa haram rokok dikatakan berdampak sistemik karena di dalam Hadits Nabi Muhammad saw ditemukan adanya larangan orang memperjualbelikan sesuatu yang diharamkan. Meskipun konteks hadits ini berkaitan dengan minuman keras (khamr) dan babi, tetapi sangat mungkin terjadi analogi hukum untuk menjelaskan kedudukan orang yang memproduksi dan memperjualbelikan rokok. Dengan logika hukum ini maka siapa pun yang berkaitan dengan industri rokok patut khawatir. Sementara para petani tembakau juga khawatir karena dapat dianggap memproduksi bahan baku rokok.
Harus diakui, bahwa fatwa MTT tentang hukum merokok memang belum menjadi keputusan resmi Muhammadiyah. Karena untuk menjadi keputusan resmi organisasi fatwa ini perlu terlebih dulu diajukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MTT. Jika disepakati dalam Munas, fatwa tersebut juga harus menungga untuk ditanfidz (disahkan) oleh pimpinan pusat. Setelah ditanfidz itulah fatwa tersebut baru menjadi keputusan resmi. Tegasnya, masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan fatwa hukum merokok sebagai keputusan tetap organisasi. Ini berarti masih terbuka peluang munculnya revisi fatwa hukum merokok yang lebih arif, bijaksana, dan solutif.
Tetapi, masyarakat sudah terlanjur tahu fatwa haram merokok yang diputuskan MTT. Karena itu, terbayang pertanyaan dalam pikiran saya bagaimana jika keputusan resmi organisasi nanti memperkuat fatwa MTT? Jika ini yang terjadi maka patut dilihat efektivitas fatwa tersebut. Bukan saja, bagi masyarakat luas tetapi juga di kalangan warga Muhammadiyah. Bagi masyarakat umum, fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MTT ini bukan yang pertama. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah mengeluarkan fatwa serupa. Tetapi, kita dapat mengamati perbuatan merokok rasanya tetap menjadi budaya masyarakat. Ini berarti fatwa yang dikeluarkan lembaga-lembaga keagamaan seringkali kurang efektif karena tidak memiliki kekuatan hukum positif. Barangkali karena itu, beberapa pemerintah daerah telah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang perbuatan merokok di tempat umum. Sekali lagi, kita menyaksikan betapa regulasi yang dibuat pemerintah tersebut kurang bergigi.
Revitalisasi Fungsi Tembakau
Agar fatwa haram merokok tidak berdampak sistemik maka yang perlu dipikirkan adalah merevitalisasi fungsi tembakau. Cara ini menurut hemat saya lebih adil karena tidak akan mematikan rangkaian industri tembakau. Masyarakat, terutama para petani tembakau dan kalangan industri, perlu diberikan alternatif. Misalnya, dengan menyatakan bahwa tembakau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar rokok. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tembakau bisa diekstrak dan direkayasa sehingga bermanfaat untuk kepentingan kesehatan. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan umum yang senantiasa menyatakan bahwa daun tembakau tidak bermanfaat bagi kesehatan.
Penelitian Arief Budi Witarto (2003) dari Pusat Bioteknologi LIPI menunjukkan manfaat daun tembakau sebagai reaktor penghasil protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF), suatu hormon yang penting untuk menstimulasi produksi darah. Dikatakan juga bahwa protein GCSF bisa digunakan sebagai vaksin untuk mencegah penyakit kanker. Beberapa ilmuwan kini juga berhasil menggunakan tembakau yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi obat penyakit diabetes. Daun tembakau pun dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk kekebalan tubuh. Prof. Pezzotti dari Universitas Verona juga menemukan manfaat daun tembakau sebagai penghasil protein obat Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan penyakit AIDS.
Beberapa temuan tersebut jelas menjadi angin segar bagi dunia keilmuan. Sebab, tanaman tembakau dapat memperbaiki citra di mata para ahli kesehatan. Tembakau yang selama ini hanya diambil manfaatnya untuk bahan baku rokok, ternyata dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan manusia. Rasanya, pengkajian yang mencoba untuk merekayasa manfaat tembakau perlu terus dilakukan. Pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, dan kalangan industri, perlu melakukan kerjasama yang sinergis untuk mengemban tugas mulia ini.
Semakin banyak temuan yang menunjukkan manfaat tembakau selain untuk rokok, maka para petani dan industri yang memanfaatkan tembakau sebagai bahan baku tidak akan gulung tikar dengan adanya fatwa haram merokok. Bahwa merokok dapat merusak kesehatan adalah pandangan yang secara common sense diakui kebenarannya oleh masyarakat. Tetapi, fatwa hukum merokok haram yang tidak diikuti dengan solusi pasti akan menimbulkan persoalan lain. Maka, dalam konteks inilah fatwa yang dikeluarkan MTT perlu mempertimbangkan banyak hal sehingga lebih berempati pada petani dan dunia industri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
comment please...